Senin, 22 Desember 2008

TERPASUNG DALAM TERUNGKU KAUM PENJARAH

Kamis, 2008 Oktober 23

Terpasung Dalam

Terungku Kaum Penjarah

Cerpen T Junaidi

Siang itu aku bergegas menuju supermarket, membeli apa saja untuk keperluanku ke luar negeri. Hari ini aku merasa menjadi orang kaya raya. Perjalanan keluar negeri seperti berjalan menuju ke rumah tetangga. Lima negara aku lalui, mulai Malaysia, Singapura, Thailand, dan China. Tapi putri bungsuku sering protes, kenapa ayah berlagak seperti orang kaya? Kebanggaan ayah di negeri orang membuat aku menangis di negeri sendiri. Meskipun ayah mengunjungi berbagai negara, tapi tetangga kita tidak akan percaya kalau ayah menjadi demikian hebat. Ayah tak jauh beda seperti mereka. Begitu kata putriku suatu hari ketika kuajak jalan-jalan ke mal terbesar dikotaku.

‘’Nak hidup ini jangan terlalu diratapi. Tapi harus dijalani. Tidak ada salahnya kita berlagak seperti orang kaya. Menenteng kopor besar, meski isinya mie instant dan kopi bubuk Pagar Alam kegermaranku. Sekali-kali kita butuh untuk dihormati. Begitu kita menyodorkan paspor, petugas tersenyum kearahku. Turun dari pesawat, langsung disambut tuan negara dengan rangkaian bunga. Nah siapa yang tidak butuh kehormatan seperti itu?’’

‘’Ayah tidak malu menjadi orang Indonesia? Penampilan ayah bukan yang sebenarnya. Apa yang harus ayah jawab ketika orang bule…’’

‘’Huss, bukan bule,’’ aku memotong kata-kata putriku. ‘’Di Malaysia, Singapura, Tailand dan China, orangnya sama seperti kita. Bukan bule, tapi emm, ya sama seperti kita.’’

‘’Maksudnya begini lho, ayah. Kalau seandainya ayah ditanya orang sana, apa jawab ayah?’’

‘’Putriku, kalau ngomong itu pakai bahasa yang simple dan cerdas. Tergantung siapa yang nanya, dan tentang apa. Kenapa takut? Di sana tidak ada KPK yang bakal menanyai ayah dari mana dana perjalanan ayah ini sampai ke beberapa negara. Mengunjungi Forbidden City, Great Wall, Beijing, Shanghai dan Hongkong. Dana perjalanan ayah bukan uang rakyat, tapi uang perusahaan di kantor ayah. Ayah harus sedikit sombong, dong. Jelek-jelek begini menolak mendapat jatah perjalanan dari uang rakyat. Perusahaan tempat ayah bekerja memang luar biasa. Maju pesat. Siapa lagi kalau bukan karyawannya yang membesarkan itu, termasuk perjuangan ayah. Wajar kan kalau ayah mendapat hadiah jalan-jalan ke luar negeri? Hitung-hitung inilah hasil keringat sendiri selama bertahun-tahun, meski hanya berpangkat rendahan,’’ kataku.

‘’Ayah, aku sering terima email dari teman-teman dari luar negeri,’’

‘’Wah, hebat, nak. Punya teman luar negeri juga?’’

‘’Ayah jangan motong-motong begitu dong kalau ngomong. Temanku bilang, korupsi di Indonesia merajalela. Apa ayah gak malu di sana. Indonesia itu terkorup nomor tiga di dunia…’’

‘’Ah, jangan terlalu merendahkan negeri kita sendiri, nak. Itu terlalu naïf. Sebaiknya kamu juga ikut mempopulerkan Indonesia dari sisi yang lain, mungkin seni budayanya, tanahnya yang subur, dan lain-lain. Kamu belum cukup umur membicarakan soal negara, terlebih lagi bicara masalah korupsi. Tahu apa, kamu kan masih kelas lima SD….’’

‘’Ya, tahunya dari luar, ayah. Kalau di Indonesia kan sudah terbiasa. Nggak terasa karena kita masuk didalamnya. Selama ini kita hanya tahu biaya sekolah di sini makin lama makin mahal. Naiknya dikit-dikit, SPP naik dikit, iuran ini itu naik dikit, buku paket naik dikit, sumbangan untuk semester genap naik dikit, biaya semester ganjil naik dikit, pendaftaran ulang naik dikit dan lain-lain. Tapi setelah dikumpulkan, besar juga ya, ayah. Makanya ayah sering pusing kalau aku minta bayaran sekolah. Semoga saja pemimpin kita ini memang benar-benar bisa mewujudkan sekolah gratis. Sekolah gratis itu bener apa ….’’

‘’Husss jangan diteruskan. Jangan menyindir. Biasanya para pejabat kita ini sering alergi disindir-sindir. Maunya disanjung-sanjung. Masalah malu atau tidak di luar negeri, ya juga tergantung siapa kita. Kalau ayah gak malu, entah kalau eksekutif dan legislative kita yang hobi keluyuran ke luar negeri dengan ongkos duit rakyat. Tahu kan rakyat kita kian lama-kian terjepit kemiskinan….’’

‘’Ongkos dari uang rakyat itu kan nantinya kembali ke rakyat, ayah. Mereka kan studi banding. Siapa tahu ada ide cemerlang membangun daerah setelah melihat-lihat negara orang lain itu bagus. Manfaatnya kan untuk rakyat kita juga. Studi banding itu kan memang untuk jalan-jalan dan melihat-lihat yang selama ini tidak ada di Indonesia…’’

‘’Ya, ya. Jalan-jalan itu memang sangat menyenangkan, terutama bila kita menyaksikan pergelaran seni budaya di sana dan tata kotanya sangat menyenangkan. Tapi biasanya kesenangan itu justru membuat kita jadi lupa. Lupa untuk menerapkannya di daerah kita sendiri. Penyakit lupa, nak. Lupa kalau kita telah membawa amanat rakyat….’’

‘’Ayah ini juga nyindir.’’

‘’Bukan nyindir, nak. Tapi memperjelas. Soalnya kita membicarakan masalah budaya dan tindak tanduk dalam kehidupan. Posisi rakyat sering dijadikan obyek pijakan menuju kursi kekuasaan. Rakyat sekarang ini terkadang apatis, dan tidak sedikit yang suka diiming-iming agar bisa mimpi menjadi orang kaya. Ayah katakan kamu harus bangga menjadi orang Indonesia, nak. Kamu juga harus bisa bilang begitu sama teman-temanmu yang dari luar negeri itu. Ayah tidak malu jadi orang Indonesia. Biar orang bilang apa saja, biar, biar …Indonesia negara paling korup di dunia, biar. Indonesia negara gagal, biar. Indonesia negara lemah, biar. Indonesia melanggar HAM, biar. Elite Indonesia serakah harta dan kekuasaan, ya biar. Presiden-presiden Indonesia dilecehkan para humoris, emm aku kira biasa-biasa, nak. Gak, gak malu. Kita harus bangga.’’

‘’Aku mau tahu dari ayah, yang dilecehkan kaum humoris itu seperti apa, ayah?’’

‘’Dengarlah, nak. Bung Karno dimanfaatkan komunis, Pak Harto dimanfaatkan putra-putrinya, Habibie dimanfaatkan konco-konconya, Gus Dur dimanfaatkan tukang bisiknya. Catatlah, Bung Karno menciptakan keamanan dan persatuan bangsa, Pak Harto menciptakan kemakmuran bangsa dan kemakmuran keluarganya, Habibie menciptakan demonstrasi. Alamak, Bung Karno turun dari presiden karena Supersemar, Pak Harto turun dari presiden karena superdemo, Habibie turun dari presiden karena supertransisi, Megawati turun-temurun jadi presiden.’’

‘’Ah, ayah bisa aja mengait-ngaitkan kaum humoris.’’

‘’Sudah ayah katakan, hidup ini jangan terlalu dibikin pusing nak. Kaum humoris itu tidak bermaksud melecehkan. Mereka ingin menghibur kita semua agar suasana menjadi ceria. Kita sedih terus juga tidak akan merubah keadaan, kecuali takdir berkata lain. Maka kamu tahu sekarang kenapa ayah tidak malu jadi orang Indonesia? Indonesia punya istilah-istilah khas di dunia korupsi. Ada istilah angpao untuk uang atensi, ada amplop untuk bikin kocek tebal berisi, ada saweran duit untuk membayar pengacara hitam dan menyuap aparat hukum, ada prosedur untuk menilep uang rakyat dan institusi dilakukan beramai-ramai.’’ ‘’Wah, kalau begitu kita ini dikelilingi kaum koruptor ya, ayah? Dalam pelajaran sejarah korupsi, sebenarnya sejak kapan korupsi itu muncul.’’

‘’Sejak kamu lahir orang sudah senang korupsi. Simaklah sejarah bangsa dan Tanah Air. Semenjak dulu zaman kompeni, pegawai VOC kirim laporan kepada Heren Zeventien di tanah Wolanda Elke Regent Heeft zijn Chinees. Susuhunan Amangkurat II dari Mataram mengutus misi sembilan duta ke Batavia minta kepada Bapak Kompeni agar dikirimi cinderamata mulai dari ayam Belanda, kuda Persia hingga gadis Makassar.

Korupsi adalah sejenis vampire. Makhluk halus bangkit kembali dari kubur. Kemudian keluar pada malam hari dan mengisap darah manusia yang sedang tidur. Di layar film Hollywood wujudnya adalah Count Dracula yang bertaring diperankan aktor Bela Lugosi. Vampir yang hilang kesaktiannya bila terkena sinar matahari, akan tetapi drakula-drakula Indonesia tetap perkasa beroperasi 24 jam, ya malam ya siang mencari korban. Drakula telah merasuki rongga dan jiwa aparat negara. Wajarlah KPK tertatih-tatih memburu mereka. Hari ini diberantas, besok muncul lagi. Begitu seterusnya. Para koruptor ini memang sedang berjamaah dan menjarah ke berbagai aspek kehidupan. Kita benar-benar terpasung di dalamnya. Mau apa lagi. Inilah takdir kita menjadi orang Indonesia. Mungkin suatu saat nanti ketika kita berada di luar negari, akan saya ceritakan, Indonesia itu kaya raya.’’

‘’Ayah ini memang sok pede. Cara bicara ayah terdengar agak sombong. Malu dong ayah.’’

‘’Ya, ayah malu. Tapi dalam hal-hal tertentu, kita tidak bermaksud untuk menyombongkan diri. Tapi tahukah kamu nak, penyakit sombong selalu menyerang bangsa kita. Biar miskin asal sombong. Kita lupa kalau kita terkurung oleh keadaan yang sebenarnya cukup runyam?’’.

Putriku tersenyum. Aku ikut tersenyum. Hidup ini memang harus begitu, meski senyumku tidak bisa diterjemahkan apakah senyum gembira atau sedih. Super mal yang megah itu, sepertinya terus melambai-lambai. Putriku sangat menyukai jalan-jalan di sana. Hampir setiap hari tidak bosan-bosannya mengajak aku kesana. Putriku diam-diam juga pintar membaca keadaan, bahwa bangsa kita ini lebih suka dininabobokkan sesuatu yang megah. ‘’Ternyata kita termasuk orang yang konsumtif, ya ayah?’’ kata putriku.

‘’Ya, dari situlah korupsi lama-lama bisa tumbuh,’’ kataku.

. ****

Palembang, 21 Juli 2008

(Terinspirasi dari Sajak ‘Aku Tidak Malu Jadi Orang Indonesia’ karya wartawan senior H Rosihan Anwar, Dibacakan pada acara Deklamasi Puisi di Gedung Da’wah

Muhammadiyah di Jakarta, 31 Desember 2004. Juga dibacakan dalam acara pertemuan keluarga

wartawan senior di rumah penulis pada tanggal 9 Januari 2005, di Jakarta)

****

Rabu, 29 Oktober 2008

Cerpen T Junaidi: Perempuan Muda di Sudut Cafe Ya Shao

Perempuan Muda

di Sudut Café Ya Shao

Cerpen T Junaidi












Perjumpaanku dengannya terjadi begitu saja. Seperti Tuhan menemukan sesuatu tanpa kita bisa menyadarinya, tapi bisa merasakan, kemudian kita katakana inilah takdir. Perempuan ayu, agak melankolis memang. Dia duduk sendiri di kursi depan sebuah café bergaya eropa—di sudut pusat perbelanjaan Ya Shao kota Beijing.

Sayup-sayup alunan musik jazz begitu mendominasi sebuah suasana café yang dipenuhi orang-orang bule itu. Aku sendiri merasa agak asing memasuki tempat tersebut. Tapi aku juga tak bisa memilih tempat nongkrong lainnya sekedar minum coffee, atau susu soda. Aku pikir, masuk dulu, masalah minumannya berselera dilidah indonesiaku atau tidak. Yang penting hasil akhirnya adalah minum kopi. Aku mau praktis. Aku pilih minuman kopi kaleng saja biar lebih simple dan tidak perlu bertele-tele, tinggal sodorkan beberapa Yuan, aku lalu dapatkan minuman kecil itu.

Perempuan muda yang duduk di kursi paling depan beberapa kali sempat aku lirik. Diapun seperti mengerti keinginanku. Aku tidak langsung menelan habis-habis kesempatan itu. Aku menyadari aku orang asing di negeri orang. Siapapun yang aku kenal, mungkin bisa menolongku, atau sebaliknya, mencelakaiku.

Aku menyapu pandang seisi ruangan, semuanya duduk berpasangan. Sebagian membuka laptop, ada juga yang hanya baca-baca buku. Tapi kulihat dia sibuk menulis dengan ejaan yang sulit aku mengerti. Pakai huruf Mandarin. Aku pikir, ini pasti perempuan China. Hamm, naluri kelaki-lakianku mulai liar.

Nongkrong di café, ngopi sambil dengeri musik atau buka laptop, posting berita blog, chatting, sepertinya memang merupakan fenomena yang sedang ngetrend dijagad modern seperti sekarang ini. Sangat jamak kita temui. Di Café-café yang bertebaran di Mall maupun di outlet Café itu sendiri, sering menyediakan tempat yang nyaman buat nongkrong dan berlama-lama. Di Indonesia juga sudah mulai bertebaran gaya hidup seperti itu.

Disudut café Ya Shao, aku masih menikmati keasinganku. Pergeseran nilai dan budaya memang berubah 90 derajat. Aku mencoba menyesuaikan situasi dan kondisi. Apalagi saat itu cuaca di Tiongkok benar-benar memasuki musim panas. Wajar di sana-sini banyak perempuan mengenakan busana seenaknya, sangat minimalis. Banyak pusar dan narkoba (nampak kolor bawah) terlihat di mana-mana.

Satu kaleng kopi dingin sudah aku buka. Aku teguk pelan-pelan, merasakan dingin mengalir ke tenggorokan begitu nikmat. Ya Shao, tempat yang nyaman, menu minuman dan makanan yang lezat, ditambah free hotspot. Perempuan muda berambut panjang sebahu, masih belum beranjak dari tempatnya. Masih sibuk dengan angka-angka dan kata-kata. Beberapa kali membuka kamus bahasa Mandarin. Aku yakin, dia pasti merasakan kalau aku lama memperhatikan.

‘’Excusme..?’’ aku berkata pelan agar tidak terdengar mengejutkan. Tapi kalau saja dia terganggu, aku tidak salah, sebab ini tempat umum. Kalau mau serius mengerjakan pekerjaan rumah (PR) sekolah, ya di rumah. Atau kalau sibuk menyelesaikan urusan kantor, ya sebaiknya dikerjakan di kantor. Itulah budaya semestinya. Bukan tugas kantor dikerjakan di café.

‘’Silahkan duduk Mas,’’ akhirnya perempuan muda itu mempersilahkan aku duduk setelah beberapa menit aku cuma berdiri saja. Tapi aku malah bengong sebelum benar-benar duduk di depannya.

‘’Kamu orang Indonesia?’’ kataku seperti orang bodoh.

‘’Ya, ada apa?’’

‘’Oh, nggak. Nggak ada apa-apa. Dengan siapa di sini?’’

‘’Sendiri’’

‘’Oya?’’

‘’Lihat saja. Saya dengan siapa?’’

Perempuan muda itu seolah memperjelas keberadaannya. Sebuah pertanyaan bodoh yang pernah aku lontarkan. Budaya basa-basi masih tetap lengket dibibirku. Maklum, aku orang Indonesia tulen, yang dibesarkan dilingkungan orang-orang yang penuh basa-basi. Tak hanya itu, dilingkunganku Tuhan pun bisa dikangkangi dan dicurigai. Betapa tidak, sering aku baca dikoran banyak oknum pejabat kita berani bersumpah dibawah kitab suci Tuhan, tapi korupsi merajalela. Ini sama saja telah mengangkangi Tuhan.

‘’Kok kamu kelihatannya tersenyum. Senyum dengan siapa?’’

‘’Maaf, nama Mas siapa?’’ tanya perempuan itu sebelum menjawab pertanyaanku. Nadanya datar dan gayanya cuek seperti tak terjadi apa-apa. Sedangkan aku merasakan panas dingin bisa ngobrol nyambung dengan orang yang baru aku kenal.

‘’Namaku singkat saja, Ireng.’’ kataku.

‘’Namamu bagus. Aku teringat arranger kita, Ireng Maulana. Dalam rangka apa Mas ke Beijing?’’

‘’Kebetulan saja ada tugas kantor.’’

‘’Enak ya, bisa jalan-jalan.’’

‘’Kamu juga enak bisa tinggal di sini. Dalam rangka apa?’’

‘’Sekolah.’’

‘’Sekolah disini? Apa di Indonesia tidak ada yang lebih berkualitas?’’

‘’Masalahnya bukan berkualitas atau tidak, tergantung senang atau tidak kita.’’

‘’Maksudnya kamu tidak senang menempuh pendidikan di Indonesia? Mengapa tidak suka? Wah, nasionalismemu perlu dicurigai kalau begitu.’’

‘’Eit, jangan terburu curiga. Yang kita bicarakan masalah pendidikan, aku tidak ngajak bicara diluar topik.’’

‘’Em, kamu belum mengenalkan namamu, kan?’’ kataku.

‘’Julia.’’

‘’Cuma itu?’’

‘’Julia Nitibaskara. Aku kelahiran Jakarta. Ibuku asli Bandung, Papaku asli Betawi. Wajahku aja yang mirip China, hahaha….’’ Julia ngakak sembari meletakkan penanya, lalu meraih block note di saku bajuku. Menuliskan alamat email, hp dan blognya. ‘’kapan-kapan kunjungi situsku. Kita bisa bercengkerama di dunia maya lebih panjang lebar,’’ kata Julia seolah menantang ‘gombal-gombalan’ via internet.

Ditantang seperti itu aku justru tambah bingung. Sebab usiaku dengannya sangat tidak sebanding. Kira-kira berkisar 15 tahun lebih tua dariku. Tapi cara bicaranya benar-benar sangat dewasa dan mampu menguasai dirinya. Aku taksir usianya baru 22 tahun. Diam-diam aku mengaguminya, sama dengan kekagumanku pada putriku yang kini masih duduk di kelas III SMP. Barangkali putriku kalau di luar sana, juga seperti dia. Hmm, pergeseran nilai ternyata begitu meloncat jauh dari era saya remaja dulu. Kini usiaku tiga tahun lagi mencapai kepala 4. Sudah tidak pantas menjadi ‘anak nakal’.

‘’Kamu sangat berani,’’ kataku dengan nada memuji.

Perempuan muda itu ganti tercengang.

‘’Kenapa?’’

‘’Kamu sendirian di negari orang. Sementara keluargamu di Jakarta.’’

‘’Aku tidak sendirian. Di sini ada yang menemani. Ya, Mas Ireng. Di tempatku kuliah juga banyak teman-teman dari berbagai negara.’’

‘’Apa yang kamu rasakan selama tinggal di sini?’’

‘’Bebas’’

‘’Bebas?’’

‘’Ya. Di sini kita bisa menemukan kebebasan. Hak kita terjaga. Masing-masing orang menghargai hak orang lain.’’

‘’Apa di Indonesia kurang bebas? Hak azazi manusia sering dilanggar?’’

‘’Mas kan orang Indonesia seperti aku. Rasanya gak usah dijelaskan.’’

‘’Kamu pintar sekali. Aku suka orang pintar. Bisa melihat orang lain dengan pikiran dan hati. Kamu bahkan tidak takut denganku yang mungkin tidak pas untuk diajak ngobrol.’’

‘’Bisa aja Mas merendah. Usia bukan sebuah batasan kita mengenal seseorang.’’ Julia berkata agak genit. Seolah ingin tahu sejauh mana sikap liarku terhadap dirinya. Aku mencoba bersikap biasa-biasa, bahkan aku memposisikan sebagai orang tua, meski sebenarnya belum benar-benar tua.

‘’Maaf, aku gak bisa lama-lama. Jam tiga ini aku harus sudah sampai di kampus. Identitasku sudah Mas catat kan? Kalau saja besok kita tidak ketemu lagi di café ini, setidaknya bisa kontak via HP atau emailku.’’

Perempuan cakep itu langsung bergegas pergi. Pertemuanku begitu singkat. Tapi terasa sangat akrab. Terus terang aku agak kecewa berat karena belum ngobrol panjang lebar.

***

Semalaman aku tidak bisa tidur pulas. Selalu memikirkan gadis melankolis yang aku kenal di café Ya Shao itu. Benar-benar gila. Begitu cepatnya perkenalan kita sampai pada akhirnya janjian ketemu lagi di tempat yang sama.

Di café itu, aku menemukan tempat yang pas. Biasanya aku lebih suka di Starbug di kawasan Shanghai, biasa mengakses internet gratisan. Di era yang serba digital saat ini, semua seakan borderless, jarak dan waktu bukan lagi sebuah masalah rumit untuk melakukan aktivitas dan berkomunikasi. Dunia modern menjadikan perilaku orang juga bergeser kearah yang dulu kita anggap tidak mungkin. Bicara maupun meeting cukup lewat telepon genggam. Meeting dengan klien luar negeri bisa pakai email, blog, atau chatting. Belanja pun bisa lewat online dan delivery.

Kini mengerjakan tugas kuliah atau kantor bisa dimana saja asal ada sambungan Internet. Banyak kantor saat ini yang ngirit alias menekan cost sewa ruangan atau gedung, air, listrik dan tagihan-tagihan yang lain. Semua tugas bisa dikerjakan dari mana saja, asal tersambung Internet. Bahkan mencari teman kencan, jodoh dan kuliah bisa lewat Internet.

Hal inilah yang membuat orang akhirnya mencari tempat senyaman dan seenak mungkin untuk mengerjakan tugas-tugas apapun, baik tugas kantor, kuliah sekolah bahkan profesi seperti wartawan dan penulis. Sudah internet gratisan, tempat enak ber-AC, diiringi musik,makanan tinggal pesan. Saat ini dunia terasa kecil, jarak makin tak berarti, entah seratus tahun ke depan, dunia pasti akan lebih canggih dari sekarang. Apa yang kita pikirkan akan datang di depan kita. Mungkin. Tapi rasanya tidak harus seratus tahun, saat ini saja kita sudah bicara dengan orang yang tinggal di negara lain di depan mata, via fasilitas chatting. Wajar bila orang-orang modern bila berkenalan selalu meninggalkan alamat email, blogger, maupun alamat lain dalam internet. Hmm, dunia modern telah menguasai kita.

***

Di sudut café itu, Julia terlihat sibuk seperti kemarin. Rasanya aku makin tambah bodoh memikirkan perilaku orang-orang modern ini. Pekerjaan kuliah bisa konsen dikerjakan ditempat ramai seperti ini, berisik musik jazz dan hiruk-pikuk orang bercengkerama.

Aku langsung duduk di depannya. Mengawasi gerak-geriknya menulis kalimat per kalimat Mandarin. Julia terlihat senyum tipis tanpa menatap ke arahku. Dia hanya feeling saja bahwa aku memperhatikan wajahnya yang manis itu.

‘’Tempat jalan-jalan di sini tentu saja shopping centre, di Beijing ada beberapa shopping centre yang ramai, di pusat kota ada Wangfujing Street dan Xidan Street. Tapi aku jarang ke sana karena mahal-mahal bo’. Namanya juga mall jadi gak bisa nawar. So aku lebih sering ke Qianmen dan Silk Street. Di dua tempat ini harganya bisa sangat murah asal kita cerewet dan jago nawar. Anggap saja di pasar Tanah Abang Jakarta, atau di pasar 16 Ilir Palembang,’’ kata Julia seraya menggamit lengan kananku.

Perlakuan Julia ini selalu bikin aku bingung. Bingung sekali. Baru kemarin kenal, rasanya seperti sudah kenal setahun. Penuh percaya diri dan tidak ada batasan yang berarti. Aku benar-benar dibikin mabok kepayang. Apakah Julia benar-benar tidak tahu kalau aku ini laki-laki yang sudah beristri?

‘’Kita cuek seperti orang yang sudah terbiasa masuk mall ini,’’ kata Julia setelah kami memasuki salah satu mall di kota Beijing.

‘’Maksudmu?’’

‘’Supaya tidak terlalu dikejar-kejar penjual,’’ sahutnya.

‘’Aku ingin membeli jaket anak-anak,’’ kataku.

Julia menatap keningku sejenak. Lalu tersenyum.

‘’Warna cerah lebih baik untuk anak-anak,’’ saran Julia.

Kali ini giliran aku yang terbengong. Secara tidak langsung aku telah mengaku identitasku sebagai seorang bapak. Tapi Julia kelihatan santai. Cuek.

‘’You give me first how much you want to pay. Ok ok..900…’’ kata cewek Beijing menawarkan barang belanjaannya.

‘’ Oh, too expensive…’’ kata Julia

‘’So, how much do you want to pay?’’ kejar cewek tersebut.

‘’Give me a good price,’’

‘’How much?’’ cewek China Beijing itu memagang lenganku. Aku minta pada Julia gak usah ditawar lagi, soalnya harganya sudah diturunkan 50 persen. Akhirnya aku beli baju anak-anak motif China berwarna cerah pilihan Julia.

‘’Biarlah aku yang bayar.’’ kata Julia kemudian

‘’Yang benar aja Julia.’’

‘’Iya ini benar.’’

‘’Maksudku, sudahlah aku yang bayar.’’

‘’Sama aja kan, pada akhirnya kita beli barang ini. Itung-itung ini hadiah dariku untuk anakmu,’’ sergah Julia.

‘’Emmm, terima kasih dah kalau begitu,’’ jawabku.

Kita lalu meninggalkan Wangfujing Street, lalu kembali ke café Ya Shao. Di sepanjang jalan aku kembali berpikir. Apa maunya cewek ini? Makin lama makin bertingkah aneh. Sampai-sampai mau berkorban membelikan baju anakku? Pikir batinku.

‘’Gak usah dipikirkan,’’ kata Julia setengah tersenyum. Seperti menggoda rasa penasaranku.

‘’Sok tahu lu, aku memikirkanmu,’’ aku tak kalah konyol.

‘’Naluri perempuan biasanya tak pernah meleset,’’ katanya.

‘’Sebenarnya ada apa. Kok kita ini tiba-tiba begitu akrab?’’

‘’Itu hanya perasaanmu saja Mas. Manusia itu kan makhluk social dan akan selalu berhubungan dengan orang lain.’’

‘’Kita harus berterus terang, aku sudah punya istri dan anak.’’

‘’Memangnya kenapa? Aku tidak minta Mas mengawini aku. Tidak kan….?’’

‘’Besok aku mau pulang ke Indonesia. Pertemuan ini jangan sampai membuat kita justru menjadi pertemuan yang menyakitkan. Kamu kecewa dan aku juga kecewa karena telah membangun kesan-kesan manis yang menyenangkan seperti ini.’’

Julia lama terdiam. Sesekali menggigit bibirnya seperti menahan rasa sedih.

‘’Dengar Mas, pertama aku berjumpa dengan Mas, hatiku sangat bergetar. Aku sangat terkejut. Aku seperti menemukan kembali memori setahun lalu.’’

‘’Maksudmu?’’

‘’Mas tak jauh beda dengan pacarku, Gilman. Mirip sekali. Dia telah mendahului kita akibat serangan kanker otak. Aku kuliah di sini juga bareng dia,’’ Julia menatap kedua bola mataku. Hampir menangis, tapi ditahannya dengan cara tersenyum dipaksa.

Aku baru sadar. Diam-diam keberadaanku ini menjadi pelipur lara Julia.

‘’Tuhan Maha Agung, Julia. Cinta memang terkadang bukan untuk dimiliki. Kamu termasuk gadis tegar, lanjutkan perjuanganmu menempuh pendidikan di sini. Orangtuamu akan sangat bangga padamu. Dan aku minta maaf bila kehadiranku ini melukai perasaanmu,’’ kataku lirih. Aku hampir mencium keningnya. Tapi aku cepat sadar bahwa apa yang akan aku lakukan itu merupakan kesalahan besar. Julia tak bicara apa-apa lagi, langsung beringsud meninggalkan aku. Tapi aku masih mengantongi catatan kecil alamat email, blog dan Hpnya. Suatu saat aku akan menemui Julia via dunia maya.

(Shanghai, Juli 2008)


Kamis, 23 Oktober 2008

cerpern Terpasung Dalam dalam Terungku Kaum Penjarah


Terpasung Dalam

Terungku Kaum Penjarah

Cerpen T Junaidi

Siang itu aku bergegas menuju supermarket, membeli apa saja untuk keperluanku ke luar negeri. Hari ini aku merasa menjadi orang kaya raya. Perjalanan keluar negeri seperti berjalan menuju rumah tetangga. Lima negara aku lalui, mulai Malaysia, Singapura, Thailand, dan China. Tapi putri bungsuku sering protes, kenapa Ayah berlagak seperti orang kaya? Kebanggaan ayah di negeri orang membuat aku menangis di negeri sendiri. Meskipun ayah mengunjungi berbagai negara, tapi tetangga kita tidak akan percaya kalau ayah menjadi demikian hebat. Ayah tak jauh beda seperti mereka. Begitu kata putriku suatu hari ketika kuajak jalan-jalan ke mall terbesar dikotaku.

‘’Nak hidup ini jangan terlalu diratapi. Tapi harus dijalani. Tidak ada salahnya kita berlagak seperti orang kaya. Menenteng kopor besar, meski isinya mie instant dan kopi bubuk Pagar Alam kegermaranku. Sekali-kali kita butuh untuk dihormati. Begitu kita menyodorkan paspor, petugas tersenyum kearahku. Nah siapa yang tidak butuh kehormatan seperti itu?’’

‘’Ayah tidak malu menjadi orang Indonesia? Penampilan ayah bukan yang sebenarnya. Apa yang harus ayah jawab ketika orang bule…’’

‘’Huss, bukan bule,’’ aku memotong kata-kata putriku. ‘’Di Malaysia, Singapura, Tailand dan China, orangnya sama seperti kita. Bukan bule, tapi emm, ya sama seperti kita.’’

‘’Maksudnya begini lho, ayah. Kalau seandainya ayah ditanya orang sana, apa jawab ayah?’’

‘’Putriku, kalau ngomong itu pakai bahasa yang simple dan cerdas. Tergantung siapa yang nanya, dan tentang apa. Kenapa takut? Di sana tidak ada KPK yang bakal menanyai dari mana dana perjalanan ayah ini sampai ke beberapa negara. Mengunjungi Forbidden City, Great Wall, Beijing, dan Hongkong. Ayah ini kan bukan pegawai negeri, bukan uang rakyat, tapi uang perusahaan di kantor ayah. Ayah harus sedikit sombong, dong. Jelek-jelek begini menolak mendapat jatah perjalanan dari Pak DPR, Pak Gubernur, Pak Camat, dan Pak Bupati. Perusahaan tempat ayah bekerja memang luar biasa. Maju pesat. Siapa lagi kalau bukan karyawannya yang membesarkan itu, termasuk perjuangan ayah. Wajar kan kalau ayah mendapat hadiah jalan-jalan ke luar negeri? Hitung-hitung inilah hasil keringat sendiri selama bertahun-tahun, meski hanya berpangkat rendahan,’’ kataku.

‘’Ayah, aku sering terima email dari teman-teman di luar negeri,’’

‘’Wah, hebat. Punya teman luar negeri?’’

‘’Ayah jangan motong-motong begitu dong kalau ngomong. Temanku bilang, korupsi di Indonesia merajalela. Apa ayah gak malu di sana. Indonesia itu terkorup nomor tiga di dunia…’’

‘’Ah, jangan terlalu merendahkan negeri kita sendiri. Anak kecil kok tahu.’’

‘’Ya, tahunya dari luar, ayah. Kalau di Indonesia kan sudah terbiasa. Nggak terasa karena kita masuk didalamnya. Selama ini kita hanya tahu biaya sekolah di sini makin lama makin mahal. Naiknya dikit-dikit, SPP naik dikit, iuran ini itu naik dikit, buku paket naik dikit, sumbangan untuk semester genap naik dikit, biaya semester ganjil naik dikit dan lain-lain. Tapi setelah dikumpulkan, besar juga ya, ayah. Makanya ayah sering pusing kalau aku minta bayaran sekolah. Semoga saja gubernur kita yang baru ini memang benar-benar bisa mewujudkan sekolah gratis. Sekolah gratis itu bener apa omong kos….’’

‘’Husss jangan diteruskan. Jangan menyindir. Biasanya para pejabat kita ini sering alergi disindir-sindir. Maunya disanjung-sanjung. Masalah malu atau tidak di luar negeri, ya juga tergantung siapa kita. Kalau ayah gak malu, entah kalau eksekutif dan legislative kita yang hobi keluyuran ke luar negeri dengan ongkos duit jerih payah rakyat. Tahu kan rakyat kita kian lama-kian terjepit kemiskinan….’’

‘’Ayah ini juga nyindir.’’

‘’Bukan nyindir, nak. Tapi memperjelas. Soalnya kita membicarakan masalah budaya dan tindak tanduk dalam kehidupan. Posisi rakyat sering dijadikan objek pijakan menuju kursi kekuasaan. Rakyat terkadang apatis, dan tidak sedikit yang suka diiming-iming agar bisa mimpi menjadi orang kaya. Ayah katakan kamu harus bangga menjadi orang Indonesia, nak. Kamu juga harus bisa bilang begitu sama teman-temanmu yang luar negeri itu. Ayah tidak malu jadi orang Indonesia. Biar orang bilang apa saja, biar, biar …Indonesia negara paling korup di dunia, biar. Indonesia negara gagal, biar. Indonesia negara lemah, biar. Indonesia melanggar HAM, biar. Elite Indonesia serakah harta dan kekuasaan, ya biar. Presiden-presiden Indonesia dilecehkan para humoris, emm aku kira biasa-biasa, nak. Gak, gak malu. Kita harus bangga.’’

‘’Aku mau tahu dari ayah, yang dilecehkan kaum humoris itu seperti apa, ayah?’’

‘’Dengarlah, nak. Bung Karno dimanfaatkan komunis, Pak Harto dimanfaatkan putra-putrinya, Habibie dimanfaatkan konco-konconya, Gus Dur dimanfaatkan tukang bisiknya. Catatlah, Bung Karno menciptakan keamanan dan persatuan bangsa, Pak Harto menciptakan kemakmuran bangsa dan kemakmuran keluarganya, Habibie menciptakan demonstrasi. Alamak, Bung Karno turun dari presiden karena Supersemar, Pak Harto turun dari presiden karena superdemo, Habibie turun dari presiden karena supertransisi, Megawati turun-temurun jadi presiden.’’

‘’Ah, ayah bisa aja mengait-ngaitkan kaum humoris.’’

‘’Sudah ayah katakan, hidup ini jangan terlalu dibikin pusing nak. Kaum humoris itu tidak bermaksud melecehkan. Mereka ingin menghibur kita semua agar suasana menjadi ceria. Kita sedih terus juga tidak akan merubah keadaan, kecuali takdir berkata lain. Maka kamu tahu sekarang kenapa ayah tidak malu jadi orang Indonesia? Indonesia punya istilah-istilah khas di dunia korupsi. Ada istilah angpao untuk uang atensi, ada amplop untuk bikin kocek tebal berisi, ada saweran duit untuk membayar pengacara hitam dan menyuap aparat hukum, ada prosedur untuk menilep uang rakyat dan institusi dilakukan beramai-ramai.’’
‘’Wah, kalau begitu kita ini dikelilingi kaum koruptor ya, ayah? Dalam pelajaran sejarah korupsi, sebenarnya sejak kapan korupsi itu muncul.’’

‘’Sejak kamu lahir orang sudah senang korupsi. Simaklah sejarah bangsa dan Tanah Air. Semenjak dulu zaman kompeni, pegawai VOC kirim laporan kepada Heren Zeventien di tanah Wolanda Elke Regent Heeft zijn Chinees. Susuhunan Amangkurat II dari Mataram mengutus misi sembilan duta ke Batavia minta kepada Bapak Kompeni agar dikirimi cinderamata mulai dari ayam Belanda, kuda Persia hingga gadis Makassar.

Korupsi adalah sejenis vampire. Makhluk halus bangkit kembali dari kubur.
Kemudian keluar pada malam hari dan mengisap darah manusia yang sedang tidur. Di layar film Hollywood wujudnya adalah Count Dracula yang bertaring diperankan aktor Bela Lugosi. Vampir yang hilang kesaktiannya bila terkena sinar matahari, akan tetapi drakula-drakula Indonesia tetap perkasa beroperasi 24 jam, ya malam ya siang mencari korban. Drakula telah merasuki rongga dan jiwa aparat negara. Wajarlah KPK tertatih-tatih memburu mereka. Hari ini diberantas, besok muncul lagi. Begitu seterusnya. Para koruptor ini memang sedang berjamaah dan menjarah ke berbagai aspek kehidupan. Kita benar-benar terpasung di dalamnya. Mau apa lagi. Inilah takdir kita menjadi orang Indonesia. Mungkin suatu saat nanti ketika kita berada di luar negari, akan saya ceritakan, Indonesia itu kaya raya.’’

‘’Ayah ini memang sok pede. Cara bicara ayah terdengar agak sombong. Malu dong ayah.’’

‘’Ya, ayah malu. Tapi dalam hal-hal tertentu, kita tidak bermaksud untuk menyombongkan diri. Tapi tahukah kamu nak, penyakit sombong selalu menyerang bangsa kita. Biar miskin asal sombong. Kita lupa kalau kita terkurung oleh keadaan yang sebenarnya cukup runyam?’’.

Putriku tersenyum. Aku ikut tersenyum. Hidup ini memang harus begitu, meski senyumku tidak bisa diterjemahkan apakah senyum gembira atau sedih. Super mal yang megah itu, sepertinya terus melambai-lambai. Putriku sangat menyukai jalan-jalan di sana. Hampir setiap hari tidak bosan-bosannya mengajak aku kesana. Putriku diam-diam juga pintar membaca keadaan, bahwa bangsa kita ini lebih suka dininabobokkan sesuatu yang megah. ‘’Ternyata kita termasuk orang yang konsumtif, ya ayah?’’ kata putriku.

‘’Ya, dari situlah korupsi lama-lama bisa tumbuh,’’ kataku.

.

(Terinspirasi dari Sajak ‘Aku Tidak Malu Jadi Orang Indonesia’ karya H Rosihan Anwar)

Sabtu, 23 Februari 2008

Harta Milik Tuhan

Harta Milik Tuhan
Cerpen T Junaidi



Menjadi orang miskin itu memang selalu tidak enak. Dunia seperti tak pernah berpihak kepadanya. Mulai soal ekonomi, keadilan, kehormatan, maupun soal masa depan. Tugio, salah seorang warga transmigrans Airsugihan Jalur 23 Blok D Sumatera Selatan, setiap hari selalu meratapi nasibnya yang tak kunjung berubah. Hamparan persawahannya tak menghasilkan apa-apa, lantaran muspro ditelan air asam dan serangan hama tikus. Sedangkan Inok, putrinya yang baru berusia 6 bulan sakit panas dan mencret-mencret.
‘’Apa yang bisa kita lakukan untuk menghasilkan uang Pak. Badan anak kita panas gak turun-turun, semalam mencret-mencret,’’ ujar Ginah, istri Tugio.
Mendengar istrinya minta uang untuk berobat anaknya, Kepala Tugio mendadak pusing dan dunia seperti gelap gulita. Tak ada yang bisa dilakukan dalam waktu sekejab untuk menghasilkan uang. Airsugihan bukanlah daerah perputaran ekonomi, bukan daerah perdagangan, melainkan daerah pertanian yang hanya menunggu hasil tani selama 4 bulan ke depan, itupun bila berhasil panen, bila tidak panen, berarti 8 bulan kedepan menunggu godot--menunggu ketidakpastian. Semua orang tahu Airsugihan merupakan daerah ‘terisolir’ dari dunia luar. Sedangkan jalan riding yang menghubungkan Airsugihan dan Pampangan OKI, proyeknya selalu bermasalah. Dan kini jalan yang dijanjikan Bupati tuntas 2008 itu, belum ada kabar kejelasannya.
‘’Aku mau mancing, Mak. Siapa tahu Allah memberi rejeki. Ikannya nanti kita jual. Bila tidak laku, ya biaya berobat kita bayar pakai ikan itu,’’ ujar Tugio.
‘’Iyalah Pak, cepat sana mancing, soalnya aku kawatir nanti ada apa-apa dengan anak kita. Panasnya gak turun-turun,’’ Ginah terlihat cemas.
Tugio cepat ambil stik dan cangkul mencari cacing di pematang sawahnya, lantas menuju sungai mencari tempat yang memungkinkan banyak ikan, Pada musim penghujan bulan lalu, ikan di sungai besar dan paret persawahan cukup banyak, namun akhir-akhir ini sudah sangat jarang lantaran banyak disetrum dan diputas orang. Di sungai besar tinggal jenis ikan lele dan baung yang berukuran kecil. Hampir dua jam Tugio berpindah-pindah mencari tempat yang banyak ikannya. Tapi hasilnya belum memuaskan lantaran baru dapat 7 ekor ikan gabus sebesar pergelangan anak usia SD dan 4 ikan sepat sebesar tiga ibu jari. Tugio sudah merasa senang, berarti harapan untuk mengobati anaknya yang sakit parah bakal kesampaian.
Sembari memasang pancingnya di pinggir sungai, Tugio menimbang-nimbang ikannya yang berada di kantong plastik asoy, diperkirakan baru setengah kilogram. Masih kurang banyak, karena satu kilogramnya hanya bisa dihargai Rp 5 ribu. Sedangkan biaya berobat umumnya Rp 20 ribu. Ini berarti Tugio harus memperoleh tambahan ikan sebanyak 3,5 kilogram.
Tak terasa, hampir setengah hari Tugio menyusuri pinggiran sungai. Hasil tangkapannya masih sangat tanggung. Tapi Tugio tak mau menyerah, sejurus langkahnya menuju tempat pemancingan yang lain, tiba-tiba seorang pria setengah baya menghentikan langkah Tugio.
‘’Hei, dilarang mincing di sungai,’’ teriak lelaki pendatang yang belum pernah dikenalnya. Tugio berpikir sejenak, siapa sebenarnya lelaki itu? Polisikah, sebab dari perangainya yang kasar, membuat Tugio membolak-balikkan pikirannya, mungkin preman, mungkin orang usil, mungkin polisi, atau siapalah dia. Tapi apa hak dia melarang saya memancing ikan di sungai milik Tuhan? Hmmm, mungkin saja dia petugas yang merasa geram bahwa selama ini sungai sering diputas dan disetrum.
Lama Tugio bengong. Baru kali ini ada orang melarang memancing di sungai. Memangnya sungai ini milik siapa? Tuhan saja tidak melarang manusia memancing di sungai, kok ada orang tiba-tiba melarang? Tugio merasa di desanya selama ini aman, penuh kebersamaan dan gotong royong. Jauh dari hal-hal yang bersifat anarki dan tindak kriminal lainnya. ‘’Aneh, nggak waras,’’ umpat Tugio dalam hati. Tugio pun tak menggubris omongan lelaki tersebut.
‘’Kenapa kamu masih saja mancing?’’ lelaki tersebut memperlihatkan kemarahannya sembari merampas ikan hasil tangkapan Tugio. Melihat kenyataan itu Tugio tak mampu berbuat banyak. Sembari memandangi kantong plastik asoy warna hitam yang dirampas lelaki pendatang itu, tak terasa titik air mata pun meleh di pipi Tugio.
Untung Tugio masih diberi kesabaran untuk meratapi isi kantong plastik itu. Bagi Tugio, itu bagian dari nyawa anaknya yang kini sedang sakit parah. Kalau tidak, bisa saja Tugio berbuat nekad dengan membacok lelaki sombong itu dengan parang yang dipegangnya. Tugio menghela nafas panjang, mencoba meredakan emosinya, lalu duduk termenung di pinggir sungai. Waktu menuju maghrib tinggal beberapa menit saja, tidak mungkin lagi bagi Tugio melanjutkan memancing ikan di sungai.
Akhirnya Tugio pulang dengan tangan kosong. Hatinya terasa gundah gulana, seperti ditusuk-tusuk jarum. Sakit dan pedih. Kejadian yang sangat menyakitkan sepanjang hidup Tugio, disaat anaknya sakit dan tidak memiliki uang serupiahpun. Giliran ada sedikit ikan yang akan dijual, ternyata dirampas orang. Jumlahnya memang tidak seberapa dibanding sakitnya anak yang segera minta ditolong.
‘’Terus bagaimana Pak,’’ ucap istri Tugio.
‘’Ya sudah kita bawa saja anak kita ke puskesmas atau bidan desa. Mumpung belum benar-benar terlambat. Kan sakitnya baru dua hari ini. Biarlah nanti aku ngomong terus terang dengan Ibu Bidan,’’ kata Tugio.
Tugio dan istrinya bergegas menaiki sepeda kayuh. Sesampainya di tempat praktek bidan desa, Tugio langsung membawa anaknya masuk ke ruang pengobatan. ‘’Tolong, Bu. Anak saya sudah dua hari panas tinggi,’’ kata Tugio.
‘’Kenapa tidak segera kamu bawa kemari?’’ tanya bidan sembari memeriksa perut anak Tugio dan meraba-raba punggungnya-- masih terasa panas. ‘’ Selain panas, juga mencret-mencret, Bu’’ sela istri Tugio.
‘’Saya hanya akan kasih racikan penurun panas. Sebabnya anak ini tidak mungkin disuntik, selain masih bayi, juga kondisi badanya masih panas. Kasih minum banyak-banyak dan dikompres setelah pulang dari sini,’’ pinta ibu bidan.
‘’Ya, Bu,’’ jawab Tugio.
Setelah bidan desa menyodorkan racikan penurun panas, mulut Tugio terasa berat berterus terang bahwa dirinya tidak punya uang untuk membayar pengobatan ini.
‘’Maaf Bu, saya nggak punya uang untuk ongkos pengobatan. Tadi siang bapaknya mancing, maksudnya mau dijual buat pengobatan, tapi ikannya diminta orang, katanya dilarang memancing. Jadi ya minta maaf Bu, saya nggak punya uang,’’ ujar istri Tugio.
Ibu Bidan lama memandangi istri Tugio dan anaknya yang bibirnya terlihat pucat. Tidak seperti biasanya, setiap menangani pasien separah apapun, Ibu Bidan bersikap biasa-biasa. Tapi kali ini, ibu bidan seperti terkejut dan sempat termenung. Bahkan Tugio melihat kedua mata Ibu Bidan terlihat lembab. ‘’Apa karena dia kasihan dengan anak saya, ya?’’ batin Tugio.
‘’Ini sekedar buat kebutuhan Ibu di rumah. Anaknya jangan lupa dikompres, ya,’’ Ibu Bidan menyodorkan amplob berisi uang seratus ribu rupiah. Tugio merasa kebingungan menerima pemberian ibu bidan. ‘’Bukankah seharusnya kami yang membayar biaya pengobatan? Pikir Tugio.
‘’Terima kasih Bu, smoga Allah memberi rezeki banyak pada Ibu,’’ sahut istri Tugio singkat.
Ibu Bidan langsung masuk dapur mencari putrinya. ‘’Ninda, ikannya sudah digoreng apa belum? Kalau belum, kasihkan orang, atau buang saja,’’ kata ibu Bidan.
‘’Lho ada apa Bu,’’ Tanya Ninda keheranan.
‘’Pokoknya jangan dimasak. Buang saja, atau kasihkan orang sana,’’ pinta ibu Bidan. Ternyata ibu Bidan tahu bahwa sore tadi menantunya bernama Dedy, memang membawa ikan gabus dalam kantong plastik warna hitam berjumlah 7 ekor dan 4 ekor ikan sepat. Mungkin ikan yang dimaksud Tugio dirampas orang dengan modus melarang memancing, ya ikan yang siap dimasak putrinya itu. Hati Ibu Bidan pun terasa miris meskipun belum sempat makan ikan tersebut.

Palembang, 22 Februari 2008


(diangkat dari kisah sejati)